Menjadi Gereja Yang Hidup
Vol 1 No. 32
BROT
P. Agustinus Kani, CS
11/9/20252 min baca


Hari ini, Gereja Katolik sejagat merayakan Pesta Pemberkatan Basilika Santo Yohanes Lateran, yang mungkin kurang begitu dikenal dibandingkan Basilika Santo Petrus. Namun, basilika ini justru memiliki nilai historis dan spiritual yang mendalam. Sebagai gereja tertua di dunia yang didirikan pada abad ke-4 oleh Kaisar Konstantinus, Basilika Lateran merupakan katedral resmi Uskup Roma, yaitu Paus. Julukannya, sebagaimana tertulis pada bagian atas pintu masuk utama basilika ini, "Omnium urbis et orbis ecclesiarum mater et caput" – "Ibu dan kepala semua gereja di kota dan di seluruh dunia" – menegaskan perannya sebagai simbol kesatuan dan persekutuan Gereja Katolik di seluruh dunia. Dengan demikian, perayaan ini bukan sekadar peringatan terhadap sebuah bangunan bersejarah, melainkan pengakuan akan fondasi visibel persekutuan gerejawi universal.
Selanjutnya, peringatan pemberkatan Basilika Lateran mengajak kita untuk melampaui pemahaman gereja sebagai bangunan fisik belaka. Kita sering berpikir bahwa “gereja” itu ya bangunan tempat kita merayakan misa. Toh! Gereja pada hakikatnya adalah komunitas umat beriman, "bangunan rohani" yang terdiri dari batu-batu hidup, yaitu kita sendiri, yang dipersatukan dalam Kristus. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasul Paulus, "Kamu adalah Bait Allah dan Roh Allah diam di dalam kamu" (1 Kor 3:16). Pernyataan ini merupakan panggilan luhur bagi setiap orang beriman untuk menjaga kekudusan hidup, menjauhkan diri dari keserakahan, kebencian, atau egoisme yang dapat mencemari hati sebagai kediaman Roh Kudus. Dengan demikian, perayaan ini mendorong umat beriman untuk merenung: Sudahkah kita menjadi "gereja hidup" yang mewujudkan kasih dan kedamaian Tuhan bagi sesama? Apakah tindakan dan tutur kata kita mampu membawa pengharapan dan kedamaian bagi orang-orang di sekitar?
Permenungan tentang makna gereja sebagai bait Allah menemukan alasan mendasarnyadalam tindakan Yesus yang menyucikan Bait Allah di Yerusalem (bdk., Yoh 2:13-22). Dikisahkan bahwa Yesus marah ketika Bait Allah dijadikan tempat transaksi perdagangan. Kemarahan Yesus bukanlah sekadar reaksi terhadap aktivitas perdagangan, melainkan penegasan bahwa rumah Allah adalah tempat suci untuk perjumpaan dengan-Nya, bukan tempat yang dikotori oleh kepentingan duniawi. Dalam konteks kehidupan kita sebagai kaum muda, hiruk-pikuk "pedagang" dapat berupa berbagai distraksi modern seperti kecanduan media sosial, ambisi kosong dan rasa minder yang berlebihan, dan nilai-nilai materialistis yang memenuhi ruang batin kita. Entah kita sadari atau tidak, hati kita pun bisa berubah menjadi "pasar" yang ramai, yang justru mengabaikan kehadiran Tuhan dan sesama. Karena itu, kita dipanggil untuk membiarkan Yesus masuk dan menyucikan "bait hati" kita, mengusir segala sesuatu yang mengalihkan fokus kita dari relasi yang mendalam dengan Sang Pencipta.
Akhirnya, sebagai generasi muda penerus Gereja, perayaan ini merupakan seruan untuk pembaruan diri. Kita bukan sekadar penerus Gereja, kita adalah Gereja hari ini. Dunia sedang gelap oleh konflik, hoax, dan ketidakadilan. Tetapi masing-masing kita bisa menjadi terang. Kitabisa menjadi tempat di mana orang lain merasa diterima, didengar, dan dikuatkan. Basilika St. Yohanes Lateran memang megah, tetapi Tuhan lebih tertarik pada “basilika” yang kamu bangun dalam hidupmu. Marilah kita membuka hati selebar-lebarnya bagi Kristus agar Ia membentuk kita menjadi bait-Nya yang hidup– tempat di mana kasih, pengampunan dan pengharapan bertumbuh, serta menjadi sumber kedamaian di tengah dunia yang kerap dilukai oleh konflik dan kesendirian.Ketika kita mengizinkan Tuhan tinggal dalam diri kita, kita pun diubah menjadi tanda kehadiran-Nya, yang sanggup membawa terang Injil ke tengah sesama. Bahwasanya Gereja terindah bukanlah bangunan megah yang berdinding marmer, tetapi pribadi yang berjendela senyum dan berpintu maaf. Jadilah Gereja yang hidup dan menyembuhkan, bukan yang menyindir dan saling menjatuhkan.